Nasaruddin Umar, Sosok Moderat yang Layak Dianugerahi Nobel Perdamaian
- Kategori : Kampus
- Dibaca : 35 Kali

Mandailing Natal, 28 Oktober 2025 — Nama Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A., kian melambung sebagai salah satu tokoh lintas agama dunia yang berpengaruh dalam membangun jembatan perdamaian global. Kiprahnya yang melintasi batas agama, bangsa, dan budaya menjadikannya layak diusulkan sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian, penghargaan tertinggi bagi mereka yang mendedikasikan hidup bagi kemanusiaan dan harmoni dunia.
Sebagai Cendekiawan Muslim Global, Nasaruddin Umar menempatkan Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin dalam konteks peradaban modern. Gagasannya tentang Islam yang moderat, ramah, dan berdialog terus digaungkan melalui forum-forum internasional, termasuk di Vatikan, Universitas Al-Azhar Mesir, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia dikenal sebagai ulama yang menjembatani dialog lintas iman, bukan melalui wacana normatif, tetapi melalui tindakan nyata dan pertemanan spiritual.

Sebagai Tokoh Lintas Agama Dunia, Nasaruddin Umar sering diundang dalam pertemuan pemimpin agama sedunia, termasuk Forum Daring Peace di Vatikan yang diselenggarakan Komunitas Sant’Egidio. Di hadapan para kardinal, uskup, dan imam besar dunia, ia menegaskan bahwa “persaudaraan tidak mengenal batas agama.” Sikap rendah hati dan penuh cinta kasih yang ia tunjukkan—termasuk dalam pertemuannya dengan Paus Fransiskus—menjadi simbol konkret bahwa kemanusiaan dapat mengalahkan sekat teologis.
Sebagai Intelektual Global, ia tak hanya dikenal karena pandangan teologisnya yang moderat, tetapi juga karena karya akademiknya yang mendalam. Buku-bukunya tentang gender, tafsir, dan perdamaian menjadi rujukan di berbagai universitas dunia. Sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar menjadikan masjid kebanggaan bangsa itu sebagai pusat peradaban inklusif—tempat berkumpulnya pemimpin lintas iman, diplomat, dan akademisi dari seluruh dunia.
Kiprahnya menjadikannya Tokoh Pemersatu Pimpinan Agama Global, terutama setelah sukses menginisiasi Deklarasi Istiqlal pada kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia tahun 2024. Deklarasi itu menandai kesepahaman antaragama di Indonesia sebagai model harmoni dunia—sebuah warisan diplomasi spiritual yang diakui dunia internasional.
.jpeg)
Dalam konteks ini, pemikiran global Nasaruddin Umar menegaskan bahwa agama harus menjadi energi perdamaian, bukan sumber konflik. Ia memandang bahwa dunia tidak butuh dominasi agama tertentu, tetapi sinergi spiritual untuk memperkuat kemanusiaan universal.
Dengan seluruh kiprah tersebut, Nasaruddin Umar pantas diusulkan sebagai penerima Nobel Perdamaian. Ia bukan hanya sosok religius, tetapi juga diplomat moral yang menyuarakan kedamaian dari Timur untuk dunia. Dari Jakarta hingga Vatikan, dari Al-Azhar hingga New York, pesan damainya selalu sama: bahwa cinta kasih, persaudaraan, dan kemanusiaan adalah bahasa universal umat manusia.
Menanggapi hal tersebut Ketua STAIN Mandailing Natal sekaligus Sekretaris Forum Rektor PTKN Indonesia, Prof. Dr. H. Sumper Mulia Harahap, M.Ag., menyampaikan apresiasi dan dukungan penuh terhadap usulan Prof. Dr. Nasaruddin Umar, M.A. sebagai penerima Hadiah Nobel Perdamaian.
Menurut Prof. Sumper, kiprah Nasaruddin Umar selama ini telah melampaui batas geografis dan teologis. Ia tidak hanya dikenal sebagai Ulama Moderat Indonesia, tetapi juga sebagai diplomat moral dunia yang menebarkan pesan perdamaian lintas agama dan budaya.
“Prof. Nasaruddin Umar bukan sekadar tokoh nasional, beliau adalah duta perdamaian global. Dengan ketulusan dan kebijaksanaannya, beliau berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Islam adalah agama rahmat, kasih sayang, dan persaudaraan. Sosok seperti beliau sangat pantas dianugerahi Nobel Perdamaian,” ujar Prof. Sumper dengan penuh keyakinan.
Ia menilai, kehadiran Prof. Nasaruddin Umar di berbagai forum internasional—mulai dari Vatikan, Al-Azhar, hingga Perserikatan Bangsa-Bangsa—telah memperlihatkan wajah Islam Indonesia yang damai, moderat, dan menjunjung tinggi kemanusiaan universal.
“Beliau berhasil menjadikan Masjid Istiqlal bukan sekadar simbol keagamaan, tetapi pusat dialog dan peradaban inklusif yang mempertemukan para pemimpin lintas iman dunia. Itu bukan hal kecil; itu adalah bentuk diplomasi spiritual yang membawa nama baik bangsa Indonesia,” tambahnya.
Prof. Sumper juga menegaskan bahwa pengusulan Nasaruddin Umar untuk menerima Nobel Perdamaian merupakan pengakuan atas peran penting Indonesia dalam menyuarakan moderasi beragama dan toleransi global.
“Nobel Perdamaian untuk Prof. Nasaruddin Umar bukan hanya penghargaan bagi seorang ulama, tetapi juga bagi bangsa Indonesia yang selama ini dikenal menjunjung tinggi nilai harmoni dan kebinekaan. Beliau adalah cerminan terbaik dari Islam yang damai dan kemanusiaan yang universal,” tutup Prof. Sumper.
Ayoo Semangat STAIN menuju IAIN (TIM HUMAS)




